OPINI: Antara Tanah, Laut dan Logam : Menimbang Arah Ekonomi Sulawesi Tenggara
SPIRITKITA.COM – Banyak orang percaya bahwa kemakmuran datang dari dalam perut bumi—dari logam mahal dan tambang yang bernilai tinggi. Namun, Sulawesi Tenggara membuktikan bahwa kadang, justru tanah dan laut yang terlihat biasa itulah yang paling banyak memberi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara tahun 2024, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah ini mencapai Rp189,48 triliun. Dan yang menarik, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang paling besar: 22,47%, melampaui pertambangan dan penggalian yang menyumbang 21,61%.
Angka ini bukan hanya statistik. Ia menyimpan pesan penting bahwa ekonomi yang tumbuh dari tanah dan laut ternyata lebih kuat menopang keseharian masyarakat daripada kekayaan yang digali dan dijual keluar.
Dari Akar Rumput, Ekonomi yang Menghidupi
Di kampung-kampung Sulawesi Tenggara, hidup masih berjalan dalam irama yang bersahaja. Petani bangun pagi menenteng cangkul, nelayan menyiapkan jaring, dan ibu-ibu di pasar menjual hasil bumi dengan harapan cukup untuk hari itu. Merekalah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Ekonom pemenang Nobel, Amartya Sen, pernah menyatakan bahwa “pembangunan seharusnya menciptakan kebebasan substantif bagi masyarakat, bukan sekadar pertumbuhan angka.” Dalam hal ini, sektor pertanian dan perikanan memberi lebih banyak ruang bagi rakyat kecil untuk hidup, bekerja, dan berharap—tanpa harus bergantung pada perusahaan besar.
Sebaliknya, sektor tambang seringkali menciptakan ketimpangan. Ia memang menghasilkan uang dalam jumlah besar, tetapi manfaatnya jarang merata. Tak sedikit masyarakat di sekitar tambang yang justru tetap miskin, kehilangan tanah, atau menghadapi kerusakan lingkungan.


