OPINI: Pemekaran kabupaten Pakue Raya, Solusi atau Masalah?
OPINI “Pemekaran kabupaten Pakue Raya: Solusi atau Masalah?”
Dítulis oleh: RISMANTO, (Mahasiswa ilmu politik)

Pemekaran wilayah adalah upaya pemerintah dalam membangun masyarakat bangsa Indonesia di berbagai daerah sesuai situasi dan kondisi. Ini tentu bisa membuka peluang kerja bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya secara lebih baik.
Pemekaran dílakukan untuk mendukung pengelolaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara lebih baik. Pemekaaran wilayah juga dímaksudkan agar tercipta pelayanan publik yang seringkali mengalami kendala bisa teratasi secara optimal.
Pemekaran tentu dídukung oleh pemerintah pusat atas dasar usulan masyarakat dí wilayah yang mau dímekarkan, seperti kabupaten pakue raya.
Namun, pemerintah pusat sampai pemerintah daerah mesti jelih melihat dan melakukan survey atau kajian lebih mendalam tentang pemekaran wilayah ini. Agar tidak keluar dari apa yang díinginkan, díharapkan masyarakat setempat.
Jangan sampai wilayah pemekaran itu justru díjadikan ajang bisnis dan ladang politik praktis bagi segelintir orang saja. Lalu, masyarakat awam pemilik tanah dan kekayaan alam mau díapakan?
Pemkab Luwu Tunjukkan Keseriusannya Mekarkan Wilayah
Tujuan dímekarkannya kabupaten Pakue salah satunya adalah agar akses masyarakat ke pelayanan menjadi dekat. Percepatan pembangunan di beberapa kecamatan, terbukanya lowongan kerja, dan sebagainya.
Adapun Kecamatan yang akan bergabung di Kecamatan Pakue berjumlah enam kecamatan. Enam Kecamatan tersebut yakni Kecamatan Tolala, Kecamatan Pakue Induk, Kecamatan Pakue Tengah, Kecamatan Pakue, Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Tiu.
Bila kita mengkaji mengapa daerah perlu dímekarkan, dari berbagai usulan yang ada menunjukkan alasan-alasan yang sangat bervariasi.
Namun dari banyaknya dampak baik dari pemekaran daerah tentu mempunyai dampak buruk juga jika pemekaran ini terjadi semisal bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga haus kekuasaan.
Konflik dí antara para elite lokal itu dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan sering tak bisa díhindari, termasuk dí dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik horizontal (antara lain terbukti pada kasus Mamassa, Sulawesi Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah). Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan dí daerah baru itu.
Presiden Tetapkan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, Adakah di Luwu Raya?
Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu.
Lebih ironisnya lagi daerah-daerah yang dímekarkan maupun yang tengah diusulkan untuk memperoleh persetujuan pemekaran ini adalah penonjolan dari segi kelayakan administratif semata. Tampak sekali, ambisi untuk melakukan proyek pemekaran adalah pihak Depdagri dan atau juga pihak DPR dengan menggunakan hak usul inisiatifnya yang memperoleh persetujuan pemerintah.
Makanya, tidak heran, dalam operasionalisasi pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah yang baru dimekarkan, umumnya, memiliki ketergantungan mutlak pada pendanaan dari pemerintah pusat dengan berbagai caranya.
Perlu dicatat bahwa pemekaran daerah umumnya hanya merupakan perluasan struktur yang diperebutkan oleh para elite dengan konsekuensinya berupa pembiayaan yang begitu besar yang diorientasikan pada pembangunan sara dan prasarana pengelolaan pemerintahan lokal (infrastruktur), pembiayaan aparat pemerintahan daerah (eksekutif, DPRD, dan lain-lain).(*)
