AJI Kecam Penetapan Wartawan JakTV sebagai Tersangka Obstruction of Justice oleh Kejagung

Tersangka kasus dugaan perintangan penanganan perkara Kejagung, TB (Tian Bahtiar) selaku Direktur Pemberitaan JakTV, duduk di dalam mobil tahanan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/4/2025). (Foto: Antara/Nadia Putri Rahmani)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) melangkah terlalu jauh dalam penegakan hukum dengan menetapkan mantan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka dalam dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Penetapan tersangka terhadap Tian dilakukan dengan menjadikan sejumlah karya jurnalistiknya sebagai barang bukti, khususnya terkait narasi negatif mengenai penyidikan perkara dugaan korupsi crude palm oil (CPO) yang tengah ditangani Kejagung.

“Kita melihat Kejaksaan sebagai penegak hukum terlalu jauh melangkah untuk menjadikan Direktur Pemberitaan JakTV sebagai tersangka dengan delik perintangan, dan buktinya adalah pemberitaan,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung, dalam diskusi bertajuk “Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?” di Jakarta, Jumat (2/5/2025).

Erick menegaskan karya jurnalistik seharusnya diuji melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dengan melibatkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang.

“Kalau bicara tentang karya jurnalistik, maka harus diselesaikan melalui mekanisme yang diatur UU Pers. Produk jurnalistik bukan domain pidana, melainkan etik jurnalistik,” ujarnya.

AJI khawatir, jika dibiarkan, penggunaan Pasal 21 UU Tipikor berpotensi menjadi pasal karet yang bisa menjerat tidak hanya jurnalis, tetapi juga warga yang kritis terhadap aparat penegak hukum.

“Kalau kasus ini lolos, akan menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Ini bukan sekadar ancaman terhadap media, tapi juga publik secara luas,” tegas Erick.

Sebelumnya, Kejagung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice, yakni Tian Bahtiar, kuasa hukum Marcella Santoso, dan dosen hukum Junaedi Saibih.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengatakan ketiganya diduga melakukan permufakatan jahat untuk menghalangi proses penyidikan sejumlah perkara, termasuk korupsi di PT Timah, impor gula, dan suap vonis perkara ekspor CPO. Marcella dan Junaedi disebut memberikan uang sebesar Rp478 juta kepada Tian agar memproduksi berita yang membingkai Kejagung secara negatif.

Tak hanya melalui siaran televisi, narasi tersebut juga disebarluaskan melalui media sosial, media daring, hingga podcast dan talkshow. Aktivitas ini dinilai sebagai upaya membentuk opini publik guna mempengaruhi proses hukum.

Menurut Qohar, konten-konten tersebut juga disertai upaya pembiayaan demonstrasi dan penyelenggaraan seminar sebagai bagian dari strategi menggagalkan penyidikan. Meski sebagian bukti elektronik telah dihapus, penyidik mengklaim memiliki cukup bukti untuk menetapkan ketiganya sebagai tersangka.

Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketiganya membantah tuduhan tersebut.

Dapatkan Update Berita Pilihan Menarik
di Fanspage dan Whatsapp Anda
Spiritkita
Andika
Redaksi
Tim Spiritkita
Pasangiklan