URL Berhasil Disalin
URL Berhasil Disalin
Beradab Di Medsos
NAMANYA memang media sosial. Akan tetapi, fungsi sosialnya mulai patut dipertanyakan karena saat ini media jenis itu malah didominasi konten negatif dan berita bohong (hoax). Media sosial yang awalnya diciptakan sebagai alternatif media arus utama kini seperti tengah bergerak ke arah yang salah. Pemanfaatan yang salah dari media sosial sangat mencemaskan.
Bukan saja kita telah menyia-nyiakan sebuah sarana di era modern yang sangat bagus untuk mengeratkan hubungan antarmanusia. Lebih dari itu, dominasi konten-konten negatif yang tak jarang ditaburi fitnah dan ujaran kebencian telah terbukti kerap menebar permusuhan dan menjadi sumber konflik. Jika hal itu tidak segera diakhiri, ‘kehidupan’ di dunia media sosial bakal semakin barbar.
Saling serang, saling tuduh, saling caci, dan saling melempar fitnah akan semakin menjadi-jadi bila fakta yang terjadi hari ini tidak juga membuat kita segera sadar. Media sosial yang mestinya mencerahkan malah menyempitkan jalan menuju kehidupan masyarakat yang lebih beradab. Jika tak cepat diakhiri, daya rusak yang dimiliki media sosial bukan tidak mungkin dapat memorak-porandakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apalagi bangsa ini dalam waktu dekat akan menghadapi dua hajatan demokrasi besar, yakni pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Dua pesta tersebut tentu memerlukan sebuah situasi negara yang damai, sejuk, dan saling percaya. Dalam konteks itu, munculnya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial jelas menjadi angin segar.
Ada lima poin dalam fatwa itu, yang pada intinya ialah mengharamkan perbuatan gibah, fitnah, menyebarkan permusuhan, perundungan, ujaran kebencian, menyebarkan hoax, dan menyebarkan materi pornografi di media sosial. Sikap kita ialah mengapresiasi inisiatif MUI tersebut dan akan mendorong implementasinya. Setidaknya, fatwa itu pasti muncul dari keprihatinan yang sama bahwa pemanfaatan yang salah dari media sosial bisa sangat berbahaya akibatnya.
Oleh karena itu, perlu ada pedoman bagaimana menggunakannya secara bijak. MUI, juga kita, tentu boleh bermimpi bila suatu saat nanti media sosial betul-betul bisa menjadi ajang silaturahim untuk mempererat rasa persaudaraan di dunia maya. Persaudaraan itu kemudian semakin terbungkus erat dengan menjalar ke dunia nyata. Alangkah eloknya bila seperti itu.
Namun, sebelum itu, kita mesti pastikan bahwa fatwa MUI tersebut dapat berjalan efektif. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap fatwa-fatwa yang dirilis MUI sebelum ini, faktanya banyak fatwa MUI dicuekin umat karena ketiadaan ancaman sanksi dunia bagi mereka yang tidak melaksanakan fatwa tersebut. Lalu bagaimana caranya biar efektif? Salah satunya dengan menyelaraskan fatwa itu dengan hukum positif.
Karena itu, kita pun perlu mendorong pemerintah menindaklanjuti inisiatif MUI tersebut dengan membuat regulasi-regulasi baru yang segendang dan seirama. Bila sudah ada aturannya, seperti tentang ujaran kebencian, perundungan, dan pornografi, barangkali perlu diperkuat dan dipertajam. Pada akhirnya, seperti dikatakan Menteri Agama, media sosial harus diarahkan untuk saling mencerahkan, bukan sebaliknya, saling menyingkirkan.
Fatwa MUI bisa menjadi jalan masuk upaya pencerahan di dunia maya tersebut. Fatwa ialah produk agama. Sejarah membuktikan agama berperan menciptakan peradaban. Melalui fatwa MUI ini, agama hendak berperan menciptakan cara bermedia sosial yang beradab.(mediaindonesia.com)
