DPR Desak Evaluasi Tambang di Raja Ampat, Tiga Perusahaan Diduga Langgar Aturan Lingkungan
Pemerintah didesak segera melakukan evaluasi total terhadap aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang belakangan menuai sorotan akibat dampaknya terhadap lingkungan dan kawasan wisata dunia.
Anggota Komisi VII DPR RI, Ratna Juwita Sari, menyatakan dukungannya atas langkah penghentian sementara operasional PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Antam Tbk.
Namun, ia menegaskan perusahaan tambang lainnya yang beroperasi di Raja Ampat juga harus dihentikan sementara, bahkan izinnya dicabut bila terbukti melanggar ketentuan lingkungan.
“Untuk perusahaan-perusahaan lain juga tolong dihentikan. Bahkan sudah layak dicabut izinnya berdasarkan temuan dari Kementerian Lingkungan Hidup,” tegas Ratna, Minggu (8/6/2025).
Ratna mengungkapkan tiga perusahaan yang diduga kuat melanggar aturan dalam aktivitas pertambangannya:
1. PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Perusahaan ini disebut melakukan pertambangan di Pulau Manuran seluas 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan yang memadai, dan tidak mengelola air limbah larian.
“KLH menemukan kolam settling pond jebol akibat curah hujan tinggi. Bahkan dari pantauan drone, terlihat perairan pesisir keruh akibat sedimentasi yang merusak ekosistem laut Raja Ampat,” jelas Ratna.
2. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 30 Desember 2013, berlaku selama 20 tahun, dengan total area izin seluas 5.922 hektare. Namun, sejak 2024, mereka mulai menambang di luar izin lingkungan dan kawasan PPKH, tepatnya seluas 89,29 hektare di Pulau Kawe.
“Tambang itu di luar izin lingkungan dan kawasan hutan yang hanya 5 hektare. Akibatnya, terjadi sedimentasi hingga ke pesisir pantai dan merusak akar mangrove,” papar Ratna.
3. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini memiliki IUP untuk area konsesi seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele, Distrik Waigeo Barat Kepulauan. Namun, menurut Ratna, PT MRP tidak memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
“Padahal mereka sudah melakukan eksplorasi sejak 9 Mei 2025 di Pulau Batang Pele dengan memasang 10 mesin bor untuk pengambilan sampel,” ungkapnya.
Ratna menegaskan, jika hasil kajian pemerintah membuktikan adanya pelanggaran serius terhadap lingkungan di kawasan konservasi laut dan wisata kelas dunia ini, maka langkah tegas seperti pencabutan izin, ganti rugi lingkungan, hingga sanksi hukum harus segera diterapkan.


