Gerbang Tapal Batas di Luwu Utara Ini Disorot, Penyebabnya,….
Gerbang Perbatasan antara daerah kecamatan Baebunta dan kecamatan Malangke yang dibangun Pemkab Luwu Utara menuai sorotan. Pasalnya, kata ‘Datuk Pattimang’ pada bagian atas bangunan sebagai simbol tapal batas yang dibangun di Dusun Babue Desa Tandung Kecamatan Malangke tersebut dinilai mencederai masyarakat Adat Pancai Pao.
Pemgang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief menuding Pemerintah Kabupaten Luwu Utara saat ini tidak memahami sejarah pemekaran yang terjadi di Kecamatan Malangke, terlebih lagi tentang sejarah Luwu.
“Saya menilai pemerintahan ibu Indah telah menoreh sejarah yang dapat menimbulkan kekecewaan masyarakat adat. Saya sebagai pemegang mandat adat Pancai Pao menganggap bahwa bupati saat ini tdk memahami sejarah pemekaran yg ada di kecamatan Malangke, apa lagi sejarah luwu,” kata Abidin yang juga merupakan caleg partai Nasdem Dapil tiga yang meliputi kecamatan Malangke Barat dan Kecamatan Malangke.
Diungkapkan Abidin, Pemkab Luwu Utara perlu memahami bahwa pelaku sejarah yang ada di Kecamatan Malangke cukup banyak. Sebutlah misalnya Petta Pao, Datuk Pattimang, Petta Malangke, dan lain-lain. Bahkan tegas Abidin, ada Datuk Sulaiman sebagai tokoh agama.
“Tapi sepertinya hanya Datuk Pattimang yang dijadikan icon sejarah di Malangke. Saya tidak tahu apakah gerbang itu dibuat karena pendekatan proyek atau sebuah pencitraan sesat. Yang jelas dampaknya dapat menenggelamkan tokoh-tokoh sejarah yang lain,” ketus Abidin.
Selain Pemkab Luwu Utara, Abidin juga menyanyangkan pihak legislatif dari dapil tiga yakni kecamatan Malangke dan Malangke Barat.
“Kenapa proyek ini bisa diloloskan, sementara tulisan yg ada tentu akan membuat gesekan perasaan pada masyarakat adat, sebab ada yg merasa terkucilkan. Makam para pelaku sejarah di Malangke sangat jelas. Ada beberapa situs sejarah yang dimasa kepemimpinan A.Lutfi saat menjabat bupati, makam itu telah dilakukan pemugaran,” tanya Abidin.
Selain kata ‘Datuk Pattimang’, Abidin juga mempersoalkan kata ‘Malangke Luwu Utara’. Ketua LSM Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) ini menuding Bupati Luwu Utara tidak memahami bahwa kota tua itu adalah Amasangan yg hari ini menjadi desa Pao Kecamatan Malangke Barat.
“Pemekaran kecamatan Malangke bersumber dari kecamatan Malangke Barat, bukan Malangke Barat yang dimekarkan. Jika tulisan malangke itu beralasan karna perbatasan, mungkin sebaiknya tertulis saja kabupaten Luwu Utara sebab kecamatan Malangke bukan kabupatennya Malangke Barat, sementara bangunan gerbang itu menunjukkan bangunan gerbang induk di dalam dua kecamatan yang berbeda, antara kecamatan Malangke dan kecamatan Malangke Barat,” papar Abidin.
Olehnya itu, Abidin berharap agar Bupati yang saat ini menjabat banyak belajar pada Bupati-bupati Luwu Utara sebelumnya dalam menata Bumi Lamaranginan. Abidin juga meminta agar Pemkab Luwu Utara menjelaskan latar belakang yang jadi motivasi pembangunan gerbang tersebut agar bangunan yang menggunakan uang rakyat itu bukan sekadar bangunan asal-asalan.
“Sebaiknya ibu Bupati banyak belajar pada Andi Lutfi dan Arifin Djunaedi, sebab beliau-beliau adalah mantan alumni IPDN dan juga mantan Bupati Luwu Utara. Jangan belajar pada pembisik yang tidak memahami kultur apa lagi sejarah tentang tanah Luwu, sebab berbicara tentang tokoh sejarah yang ada di kecamatan Malangke Barat dan Kecamatan Malangke tidak terlepas dengan ceritera sejarah tanah Luwu,” saran Abidin.(***)
