OPINI: Perempuan Layak Jadi Pemimpin? Ini Catatan Kritis Menyambut Hari Kartini

Foto: Salsabila Resa.

*Kacamata Kartini Masa Kini: Meninjau Pilkada Palopo Dari Jarak 899 Km, Masih Saja Bias Gender Masalah Kepemimpinan

Tulisan: Salsabila Resa

Sebagaimana yang sudah-sudah, tatkala terdapat salah satu atau beberapa calon kepala daerah yang bergender perempuan, pro kontra layak tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih huru hara di kalangan bapak-bapak, emak-emak, bocah tiktok, rakyat facebook, massa instagram, dan lapisan masyarakat lainnya.

Tidak hanya terjadi di era Modern, pro kontra ini begitu massif bahkan di setiap era. Era sebelum Kartini harum namanya, misalnya.

Perempuan kerap dipandang sebelah mata, mahluk emosional, minim menggunakan akal dan rasa-rasanya memang tidak layak berada di posisi kepemimpinan suatu daeah.

Ditambah lagi, tanpa dukungan dalil agama yang awam dipahami masyarakat, menambah status pemimpin itu sungguhlah jauh dari identitas perempuan dalam agama mayoritas.

Sedikit pernah mengkaji masalah itu, bahwa dalam rumah tangga laki-laki menjadi rijal (pemimpin) bagi perempuan, namun apakah dalam lingkungan yang lebih umum (masyarakat) laki-laki yang asing bagi perempuan juga adalah pemimpin bagi perempuan tersebut?

Lantas apa tolok ukur pemimpin ideal?

Jika gender (jenis kelamin) yang menjadi ukuran, betapa banyak pemimpin negeri berjenis kelamin lelaki yang rakus dan korup, bahkan baru-baru ini mantan presiden konoha terseret jadi salah satu presiden terkorup di dunia, bah.

Namun, banyak juga pejabat perempuan yang korup. Di Palopo mungkin ada juga koruptornya, entah lelaki atau perempuan, hehe mendiskripsikan aja, tidak sebut nama.

Lanjut, artinya baik laki-laki maupun perempuan tatkala memiliki ataupun diberi kekuasaan, sama-sama berpotensi menghinakan diri sebagai seburuk-buruknya manusia dengan sifat tamak, rakus, dan sebagainya, atau bahasa Qur’an-nya Asfala Safilin.

Namun ada juga mereka (pemimpin) yang tau kadar diri dengan mengambil setiap kebijakan dengan ‘takwa. Lagi-lagi ini bukan soal jenis kelamin, karena takwa tidak identik hanya pada satu jenis kelamin saja; satu usia saja; satu ras saja.

Intinya, yang menentukan siapa mereka yang layak jadi pemimpin, bukan mereka tapi kita, rakyat.

Yang memilih adalah kita, yang menentukan adalah kita, yang menilai adalah kita, yang memperhitungkan kita.

Disadur dari hadits Bukhari dan Muslim, setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.

Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas dirinya, termasuk pilihannya.

Pada intinya, sedikit catatan ini tidak memihak paslon manapun, dan semata-mata merupakan reaksi pikiran atas kesimpulan yang sempit terhadap perempuan yang kerap termajinalkan dalam sebuah masyarakat untuk berada di posisi setara.

Selamat Hari Kartini, semoga perempuan terberdaya dengan segala potensinya.

Dapatkan Update Berita Pilihan Menarik
di Fanspage dan Whatsapp Anda
Spiritkita
Andika
Redaksi
Tim Spiritkita
Pasangiklan