Pilkada Serentak 2020 Terancam Deadlock, Legalitas Bawaslu Hilang Akibat Revisi UU Pilkada
Pilkada Serentak 2020 Terancam Deadlock, Legalitas Bawaslu Hilang Akibat Revisi UU Pilkada
Tahapan Pilkada serentak 2020 di daerah yang menyelenggarakan telah mulai berjalan. Hanya saja, Hajatan KPU lima tahunan ini terancam batal.
Penyebabnya, pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati dan Walikota serta Wakil Walikota (UU Pemilihan), menyatakan salah satu unsur yang mengawasi Pilkada yaitu Panwas Kabupaten/Kota dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Padahal saat ini, Panwas Kabupaten/Kota sudah berubah dan dipermanenkan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota.
Perbedaan mendasar dari Panwas dan Bawaslu Kabupaten/Kota yaitu Panwas Kabupaten/Kota berformat ad hoc sedangkan Bawaslu Kabupaten/Kota merupakan lembaga tetap dengan masa jabatan selama lima tahun.
Implikasi dari hal ini salah satunya dari aspek penindakan dugaan pelanggaran pada Pilkada Serentak Tahun 2020.
Dimana mengacu pada UU Pemilihan, Panwas Kabupaten/Kota tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyelesaian pelanggaran administrasi melalui sidang adjudikasi.
Sehingga kewenangan Panwas Kabupaten/Kota hanya terbatas pada memberikan rekomendasi saja.
Sedangkan pada UU Pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk melakukan penyelesaian pelanggaran administrasi melalui sidang adjudikasi.
Beberapa calon peserta pilkada serantak 2020 belum terlihat aktif. Rerata mereka menduga jika proses Pilkada serentak bakal mengalami deadlock karena status Bawaslu yang betentangan dengan Undang-undang Pilkada.
“Makanya saya justru belum mau mengambil langkah karena saya menduga Pilkada serentak tahun 2020 akan mengalami deadlock,” kata Ridwan Lahiya, salah satu calon yang akan ikut pada pilwalkot Bitung.
Sementara kata dia, Komisi II DPR sudah terang-terangan mengatakan bahwa tidak ada lagi waktu untuk melakukan revisi Undang-undang Pilkada.
“Jadi kesimpulan saya sehingga belum mau mengambil langkah politik adalah menunggu clear dulu persoalan Bawaslu sebab di Undang-undang Pilkada Nomor 10 tidak dikenal kata Bawaslu, yang ada hanyalah Panwaslu yang bersifatt adhoc,” katanya.
“Ini dilematis tapi yg namanya aturan wajib ditegakkan agar kepala daerah yang terpilih nanti punya legitimasi secara hukum,” katanya.
Hanya saja, terkait perbedaan nomenklatur pengawas penyelenggaran Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota pada UU Pemilu dan UU Pemilihan tersebut, Bawaslu sudah melakukan langkah dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini berdasarkan surat edaran tentang kepastian bahwa Bawaslu Kabupaten/Kota lah yang melakukan pengawasan pada Pilkada serentak 2020.
Edaran tersebut dikeluarkan oleh Bawaslu pada Kamis (28/11/2019) dan ditandatangani oleh Ketua Bawaslu, Abhan sebagai dasar kepastian bagi Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam hadapi Pilkada Serentak 2020.
Dalam edaran tersebut dilengkapi dasar hukum terkait kewenangan Bawaslu sebagai pengawas penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota diantaranya UUD 1945, Pasal 89 Ayat (2) dan (4) UU Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 101 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 565 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Melalui edaran tersebut pula, Bawaslu memerintahkan kepada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tugas dan wewenang pengawasan penyelenggaraan Pilkada di wilayah kerja masing-masing sesuai lingkup tugas dan wewenang yang diatur oleh perundang-undangan.
Artinya, Bawaslu Kabupaten/Kota termasuk di Kalsel tetap akan terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 mendatang.(****)
