Tenaga Ahli Pemkab Luwu Siap-siap Kembalikan Honor, BPK-RI: Pemborosan Anggaran APBD!
![]() |
Ambar Wahyuni |
“Tenaga Ahli” yang dipekerjakan Bupati Luwu, H Basmin Mattayang saat ini mulai tersorot. Selain unfaedah, para tenaga ahli ini kerap dinilai terlalu mencampuri urusan internal pemerintahan dan dianggap tak memahami fungsinya.
Olehnya itu, masyarakat mempertanyakan status “Ahli” yang disandang tenaga ahli Pemkab Luwu tersebut. Pasalnya, status Ahli dalam undang-undang RI wajib dibuktikan salah satunya dengan sertifikat yang menunjukkan status keahliannya.
Pasal 1 angka 13 Permendagri No. 33 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah menyebutkan Tenaga Ahli adalah orang yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu/keahlian tertentu
Dikutip dari jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH), Miro Bastian SH, salah satu pengelola JDIH Prov Kep Babel mengatakan, dalam PP Nomor 18/2016 yang merupakan dasar utama pembentukan perangkat daerah tidak terlihat pengaturan tenaga ahli yang membidangi urusan pemerintahan. Yang ada hanya disebutkan pada sekretariat DPRD.
Lain halnya dengan staf ahli yang tercermin dalam Pasal 102 dan Pasal 103 artinya pembentukan staf ahli sebagai bagian dari perangkat daerah dapat dibentuk dengan kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada gubernur/bupati dan secara administratif dikoordinasikan oleh sekretaris Daerah.
“Pembentukan tenaga ahli belum mempunyai dasar hukum untuk dijadikan bagian dari perangkat daerah walaupun dikemas dengan sebutan lain yang mempekerjakan orang selain aparatur sipil Negara,” tulisnya.
Meski demikian, jika “dipaksakan” untuk menggunakan tenaga ahli, staf khusus atau dibungkus dengan nama tim advisori yang beranggotakan orang diluar pemerintahan yang bermuara pada pemberian pekerjaan kepada ahli yang dilakukan oleh pemerintah daerah haruslah disesuaikan kebutuhan dan kemampuan APBD. Pembentukan ataupun sebutan lain adalah merupakan salah satu rangkaian proses pengadaan yang disepakati atau ditetapkan oleh pejabat yang memiliki kewenangan melalui proses pengadaan sesuai dengan Perpres Nomor 16/2018.
“Pengikatan hubungan kerja tenaga ahli dilakukan oleh pimpinan yang memiliki kewenangan terhadap pemberian kerja kepada tenaga ahli melalui proses pengadaan sebagaimana telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” tulisnya lagi.
Senada dengan itu, salah satu Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) perwakilan, V.M. Ambar Wahyuni, menilai tenaga ahli (non-PNS) atau tim pakar yang selama ini dimiliki sejumlah Pemerintah Daerah sebagai salah satu pemborosan anggaran APBD.
“Pemerintah daerah kan sudah mempunyai birokrat pegawai negeri sipil (PNS) yang merupakan staf ahli. Maka, adanya staf ahli di luar PNS itu selalu menimbulkan pemborosan,” kata Ambar di gedung BPK RI.
Menurut Ambar, fakta menunjukkan tenaga ahli yang dimiliki beberapa Pemda itu dalam hasil pemeriksaan menyebabkan pemborosan, kekurangan penerimaan, dan kelebihan pembayaran. Namun demikian, Ambar mengaku boleh saja Pemda memiliki tenaga ahli meski dikatakannya dirinya sudah memberikan rekomendasi kepada para kepala daerah untuk tidak menggunakan tenaga ahli.
“Ya, boleh saja ada tenaga ahli, tetapi harus jelas kontraknya. Harus dikontrak. Jadi kalau yang sekarang ini ada semua tidak di kontrak dan pembayaran gajinya masuk pada belanja pegawai yakni APBD. Kalau mereka kontrak, maka tidak ada pembiyaan dari APBD. Toh kalau kontrak kan ada batasaan, yakni tiga bulan saja,” terang Ambar.
Ambar mewanti-wanti, bila nanti tetap digunakan dan mendapat catatan laporan pemeriksaan pada tahun berikutnya, mereka (tenaga ahli) harus mengembalikan uang tersebut,” tandas Ambar yang saat ini bertugas di Sumsel.(***)
