Opini: Banjir Tak Berkesudahan, Derita Warga Malangke yang Terus Berlanjut
- Penulis: Yusril
Banjir seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Malangke.
Bertahun-tahun mereka harus menghadapi genangan air yang datang dan pergi, seakan lautan yang tak bertepi.
Meski kita tak bisa sepenuhnya memahami keresahan mereka, kita bisa melihat semangat dan keteguhan mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari, meski di balik senyuman mereka tersimpan luka yang mendalam.
Banjir di Malangke bukanlah hal baru. Setiap musim hujan, banjir datang dan dianggap lumrah oleh sebagian orang, karena biasanya hanya bertahan satu atau dua hari.
Namun, kenyataannya, ada empat desa di Kecamatan Malangke yang terendam selama lebih dari setahun, dengan air yang hanya surut sesekali.
Seluruh masyarakat Malangke merasakan dampaknya, termasuk jalan poros utama yang kini tak bisa dilalui karena tingginya air.
Kerugian yang dialami sangatlah besar. Tanaman petani gagal panen, lahan produktif menjadi tidak produktif, dan perekonomian masyarakat terganggu.
Selain itu, berbagai penyakit muncul akibat air yang tidak bersih. Beberapa rumah tak lagi bisa dihuni, memaksa warga mengungsi.
Akses jalan poros yang terputus membuat warga harus menggunakan mobil pengangkut (Dompeng) dengan tarif 15-25 ribu rupiah, menambah beban penderitaan.
Anak-anak sekolah pun tak bisa menikmati fasilitas pendidikan mereka yang terendam banjir.
Apakah ini akan terus terjadi? Apakah nasib ini akan terus dialami warga Malangke?
Aktivitas lumpuh akibat banjir, rumah-rumah bagaikan kolam, dan jalan raya laksana sungai.
Seolah ini sudah menjadi kebiasaan yang merugikan banyak orang, seakan ada pembiaran. Bayangkan bagaimana masyarakat menjalani hidup dengan banjir yang setia ini.
Mereka harus meninggikan kasur agar tidak basah saat tidur, namun tetap tidur dalam ketakutan karena pasang surut air yang tak menentu.
Bayangkan pula bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan mereka, dikepung banjir dengan lahan yang tak bisa dimanfaatkan lagi.
Mayoritas masyarakat adalah petani, dan air mata orang tua tak tertahankan memikirkan biaya sekolah anak dan kebutuhan keluarga. Air mata jatuh melihat tanaman mati dan gagal panen.
Yang dibutuhkan masyarakat adalah solusi, bukan sekadar diskusi. Penanggulangan banjir di Malangke harus menjadi prioritas.
Tidak ada waktu lagi untuk berdiam diri atau membiarkan penderitaan ini berlarut-larut.
Kita harus menyelamatkan tanah Datu’Sulaiman.
Kegelisahan selalu menyelimuti, sembari merenungi nasib kampung tercinta ini, daerah yang kaya akan sejarah dan kebudayaan. Tempat berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, Kerajaan Luwu, sebelum dipindahkan ke Palopo.
Daerah ini juga menjadi pusat penyebaran ajaran Islam di Sulawesi oleh Datu’Sulaiman bersama Datu’ri’tiro dan Datu’ri’bandang, menjadikannya tanah yang religius.


