Warga Desa Lembang-lembang Luwu Utara Pasrah Hadapi Banjir Tiga Bulan, Harapkan Perbaikan Tanggul
LUTRA, SPIRITKITA — Warga Desa Lembang-lembang, Kecamatan Baebunta Selatan, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mulai pasrah dengan kondisi daerahnya yang terus terendam banjir selama tiga bulan terakhir. Banjir yang tak kunjung surut disebabkan oleh tanggul Sungai Rongkong yang jebol, mengakibatkan air menggenang setinggi 50 sentimeter hingga 1 meter.
Desi (30), salah satu warga Desa Lembang-lembang, mengatakan bahwa setiap musim hujan, banjir akan merendam desa mereka dan tidak dapat diprediksi kapan air bisa surut.
“Desa kami langganan banjir setiap tahun dan kalau banjir lama baru surut. Kadang kami mengungsi, kadang juga tetap bertahan, karena bingung harus mengungsi ke mana,” kata Desi, Rabu (29/5/2024).
Desi juga menjelaskan bahwa banjir yang terjadi dalam tiga bulan terakhir hanya surut sebentar lalu kembali merendam pemukiman saat hujan deras mengguyur hulu Sungai Rongkong.
“Setiap hujan di hulu kemudian air Sungai Rongkong naik pasti banjir lagi di desa kami. Seperti pekan lalu, sudah sempat surut eh naik lagi sampai satu meter lebih, jadi kami sudah pasrah, terima nasib dan jalani saja,” tambahnya.
Saat banjir merendam pemukiman warga di Desa Lembang-lembang, sejumlah warga harus berjalan kaki keluar dari desa untuk membeli kebutuhan seperti beras dan bahan makanan lainnya.
“Kami jalan kaki melewati banjir, kadang juga naik perahu. Kami bawa pakaian ganti supaya kalau sudah tiba di desa yang tidak banjir, kami ganti pakaian, lalu ke tempat yang dituju seperti pasar dan sebagainya,” ungkapnya.
Desi juga merasa sedih karena banjir yang merendam desanya juga merendam sejumlah lahan pertanian dan mengakibatkan gagal panen. Karena itu, ia berharap pihak pemerintah dapat menanggulangi tanggul yang jebol. Hal itu setidaknya bisa meminimalisir dampak banjir saat air Sungai Rongkong meluap.
Koding (40), seorang petani setempat, juga merasakan hal serupa. Ia merasa resah dengan banjir yang tak kunjung surut, mengaku kesulitan untuk keluar dari desa karena hanya ada satu jalan yang dapat dilalui, yakni jalan penghubung di Desa Tete Uri, Kecamatan Sabbang Selatan. Jalan tersebut hanya dapat diakses setelah berjalan kaki di tengah-tengah banjir sepanjang 3 kilometer.
Koding mengungkap bahwa ia dan petani lainnya kini tidak dapat menikmati hasil kebun karena gagal panen.
“Dulu berkebun tapi sekarang tidak bisa lagi karena air memenuhi semua lahan perkebunan. Dalam satu hektare tanaman jagung bisa dihasilkan 15 karung atau 2 ton lebih dengan harga jagung per kilo Rp 8 ribu, tapi sekarang tidak ada lagi,” ujar Koding.
Untuk bertahan hidup, sejumlah warga memilih mencari sumber penghasilan lain, salah satunya dengan memasang pukat atau jala ikan. Menurut Koding, selama banjir merendam pemukiman, banyak ikan nila dan mujair yang terlepas. Hasil penangkapan ikan tersebut nantinya dijual oleh warga yang terdampak banjir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.








