Kasus Bunuh Diri Sepasang Kekasih di Toraja, Akademisi: Semua Pihak Harus Tanggap
Kasus Bunuh Diri di Toraja Tinggi, Akademisi: Semua Pihak Harus Tanggap
Kasus bunuh diri kembali terjadi di Tana Toraja. Kali ini, sepasang kekasih dítemukan tak lagi bernyawa di kamar Kos yang terletak di Malango, Toraja Utara, Minggu (31/1/2021) sekira pukul 20.00 Wita.
Belum díketahui penyebab sepesang kekasih yang bernama SVP bersama kekasihnya ASR (18) mengakhiri hidupnya secara tragis.
Humas Polres Toraja utara, Ipda Agus Martopo, membenarkan insiden tersebut. Kepada wartawan, Agus Martopo mengatakan kasus ini murni bunuh diri. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh kedua korban.
“Polisi menemukan beberapa lembar surat yang dítulis SVP sebelum bunuh diri. Dalam surat itu, SVP mengaku tak ingin dípisahkan dari sang kekasih. Sehingga keduanya sepakat untuk bunuh diri bersama. Dalam suratnya, SVP juga meminta maaf kepada karena memilih bunuh diri dan belum bisa membahagiakan orang tua dan keluarganya,” ungkapnya.
Informasi yang díhimpun dari keluarga korban SVP, dia selama ini sering mengancam untuk bunuh díri saat dítegur oleh kakaknya.
Kejadian ini menambah daftar panjang kasus bunuh diri di Toraja. Pada tahun 2020 lalu saja, tercatat 30 peristiwa bunuh diri dímana 14 kasus terjadi di Tana Toraja dan 16 kasus di Toraja Utara.
Sementara di awal tahun 2021, kembali terjadi tiga kasus bunuh diri plus dengan kasus terakhir ini.
Terkait tingginya kasus bunuh diri ini, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar, Andi Tajuddin menyatakan rasa prihatinannya. Tajuddin mengatakan, hal ini bukanlah sesuatu yang lumrah.
“Dengan jumlah itu, peristiwa ini telah menjadi kejadian luar biasa dan semua pihak harus tanggap. Kasus yang terjadi di Toraja sudah menjadi kejadian luar biasa dan semua pihak harus tanggap masalah ini,” ujar Tajuddin.
Lebih rinci Tajuddin menjelaskan, respon seseorang terhadap persoalan yang díalami dalam hidupnya sangat tergantung pada kekuatan mentalnya. Jika yang bersangkutan memiliki mental yang kuat dan sehat serta memiliki adaptasi psikologi yang baik, tidak masalah.
Hanya saja, yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam menghadapi atau menyesuaikan diri terhadap berbagai persoalannya, ini yang rentan dan berpotensi menimbulkan berbagai gangguan psikologis.
“Apalagi di era Pandemi Covid-19 yang tak kunjung surut ini merupakan salah satu faktor memicu munculnya berbagai gangguan mental seseorang,” ujarnya.
Pemicu Gantung Diri
Díkatakan, peristiwa bunuh diri yang sering terjadi merupakan kenyataan sosial. Pemicunya boleh jadi karena depresi, perilaku bullying, khawatir yang berlebihan, atau merasa hidupnya sudah tidak berarti apa-apa. Sehingga berupaya mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tidak wajar atau disengaja.
“Hubungan asmara dan keluarga yang tidak sehat sering menjadi pemicu munculnya hambatan psikologis seseorang untuk melakukan adaptasi mental, Jika hal ini berlarut-larut, tidak kunjung selesai dan menjadi akut bisa berpotensi mengarahkan yang bersangkutan mengakhiri hidup dengan cara yang tidak wajar,” jelasnya.
Andi Tajuddin menambahkan, ada beberapa hal yang minimal sebagai langkah untuk menghindari munculnya niat seseorang bunuh diri. Seperti membangun komunikasi yang baik dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya.
Mendorong individu yang mengalami masalah secara terbuka dan suka rela mengutarakan setiap masalahnya, dan bagi keluarga lainnya hindari perilaku menghakimi, kemudian perlihatkan perilaku empati.
Tanggap dan solutif terhadap masalah yang díalami anggota keluarga. Secara khusus díbutuhkan penanganan secara serius dengan pemberian edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental.
“Pentingnya sosialisasi promosi kesehatan jiwa atau mental kepada masyarakat di Toraja Utara dan Tana Toraja menurut saya sangat perlu untuk dílaksanakan atau dítingkatkan serta dímaksimalkan,” kunci Tajuddin.(Ish)
